Wednesday, June 6, 2012

Saatnya Orang Tua Berhenti ‘Meracuni’ Anak


Saatnya Orang Tua Berhenti ‘Meracuni’ Anak
Seperti biasanya, sebagai seorang dokter kesehatan keluarga di PKPU, sebuah lembaga kemanusiaan nasional yang berlisensi Ecosoc PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), saya ditugasi untuk menjalankan program kesehatan anak dan remaja di Penjara Anak di Tangerang.
Setelah beberapa kali berinteraksi dengan anak-anak yang ada dalam penjara itu, saya pun semakin nyaman, bisa berkomunikasi dan melakukan program kesehatan anak dan remaja dengan baik. Ini  dikarenakan, adanya dukungan yang sangat luar biasa dari para abdi negara yang sedang bertugas di penjara anak tersebut.
Sambil melakukan program kesehatan, pikiran saya bertanya-tanya, apa sebab anak-anak yang rata-rata seusia 10 tahun sampai 16 tahun itu sampai dapat di-masukkan ke dalam penjara anak ini.
Maka, dalam sesi program kesehatan berikutnya, berupa konsultasi kesehatan fisik dan psikologi secara langsung, saya membuat berapa pertanyaan yang harus dijawab oleh anak-anak.
Diantara pertanyaan itu bunyinya sebagai berikut: Apakah anak-anak mengetahui tempat tinggalnya saat ini dan apa namanya? Sebagian besar mereka mengetahui dan menjawab bahwa mereka tinggal di penjara anak.
Pertanyaan berikutnya, mengapa anak-anak harus tinggal di penjara anak ini? Beberapa anak menjawab bahwa ia melakukan kesalahan dan sudah selayaknya kalau ia harus tinggal di penjara anak.
Memang, ia di lahirkan untuk menjadi anak yang kurang ajar, pencuri, pencopet, anak yang senang perkelahian dan masih banyak “gelar-gelar” lainnya. Saya katakan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang baik, bisa berbuat kebaikan dan bisa berprestasi untuk masa depannya.
Dengan penuh keyakinan, mereka kembali menyampaikan “gelar-gelar” di atas itu dan menambahkan bahwa orangtuanya atau bapak/ibunya sering mengatakan “gelar-gelar” itu berkali-kali. Bahkan ada anak yang mengatakan bahwa ia tidak layak lagi menjadi anak orangtuanya karena ibunya mengatakan bahwa ia adalah anak yang durhaka dan pasti akan masuk neraka!Astaghfirullah..
Sahabat Indonesian Golden Family, dari cerita di atas  mengingatkan saya dalam sebuah tulisan yang berjudul The Toxic Words (Kata-kata Beracun). Tulisan ini, meskipun hanya beberapa lembar namun merupakan hasil wawancara terhadap anak-anak yang ada di penjara. Sang peneliti mengajak anak-anak untuk “mengingat kembali” apa-apa yang terjadi sebelum mereka masuk di dalam penjara. Kemudian, ia menyusun kata demi kata menjadi satu kelompok kata-kata yang dianggap mengantarkan anak-anak tersebut masuk dalam penjara.
Susunan kata-kata itu disebutnya sebagai The Toxic Words (Kata-kata Beracun).
Benar saja, bahwa anak-anak yang masuk dalam penjara itu dalam kesehariannya sering mendapatkan kata-kata yang buruk yang menyangkut dirinya, seperti:
“Dasar kamu! Memang anak pembawa sial!”
“Kamu selalu menyusahkan orangtua!”
“Kamu memang anak terkutuk! Pasti hidupmu akan sengsara!”
Serta masih banyak lagi kata-kata yang buruk lainnya.
Lalu, apa hubungannya antara kata-kata yang buruk itu dengan perilaku anak yang buruk?
Ketika saya belajar NLP (Neuro Linguistik Programming), pembimbing saya mengatakan bahwa manusia melakukan proses berpikir dengan tiga cara yaitu pertama, Berpikir Visual adalah berpikir dengan cara kita membuat gambaran di dalam pikiran kita.Kedua, Berpikir Auditori adalah berpikir dengan cara kita melakukan dialog internal (self-talk). Ketiga, Berpikir Kinestetik adalah berpikir dengan cara melibatkan perasaan atau emosi kita.
Pembimbing saya juga mengatakan bahwa gambaran masa depan seseorang ternyata dapat di prediksi dari hal-hal yang dia yakini. Ketika kita meyakini sesuatu maka seluruh “sumberdaya” dalam tubuh kita sampai level sel terkecil pun akan mendukung apa-apa yang telah kita yakini itu.
Dan sebagian besar, suatu keyakinan dibentuk dari perilaku yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya setiap hari khususnya yang menyangkut tentang diri kita. Jika perilaku buruk atau kata-kata buruk yang sering diterimanya, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti bahwa perilaku burukpun akan terwujud dan begitu pula sebaliknya.
Inilah jawaban, mengapa anak-anak itu sering melakukan pelanggaran-pelanggaran kehidupan sehingga ia harus merasakan hidup di dalam penjara. Pada saat orangtuanya terlalu sering mengatakan kamu memang anak kurang ajar, kamu memang anak pembawa sial atau kata-kata buruk lainnya, perlahan-lahan ia akan menyakini bahwa ia anak kurang ajar, ia anak pembawa sial da akhirnya iapun menjadi perilaku yag kurang ajar.
Sungguh, bila saya membahas masalah seperti ini saya merasa ngeri, kasihan, melihat fakta-fakta diatas amat sering terjadi di sekitar kita.
Masih sangat banyak para orangtua yang bila sedang memarahi anaknya maka keluar semua kata-kata beracun seperti itu. Kalau sudah demikian, kira-kira siapa yang salah, anak yang berperilaku buruk atau orangtua yang salah dalam mengajari anak agar bisa berbuat baik?
Ajaran para Nabi kita mengatakan bahwa anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita siapkan agar ia menjadi manusia yang berprestasi di dunia dan di akhirat.
Oleh karenanya, saya sendiri juga sedang mengingat-ingat kembali berapa banyak kata-kata buruk telah terucapkan pada anak-anak saya, pada istri saya. Sungguh, terasa ngeri sekali bila kita mengetahui dampak dari kata-kata buruk itu, bagaikan “racun” yang siap membunuh anak-anak kita.
Membunuh sifat manusianya sebagai makhluk spiritual ciptaan Tuhan, yang memiliki potesi dasyat dalam dirinya. Maka, solusi terbaik adalah adanya kesungguhan akan perubahan cara berpikir dan bersikap kita dari kekerasan menjadi kasih sayang.
Bagi ummat Muslim, sarana berpuasa, utamanya di bulan Ramadhan, adalah sarana yang paling tepat untuk melakukan perubahan itu.
Mengapa? Karena puasa (Ramadhan) merupakan salah satu “produk” dari Tuhan sebagai sarana paling tepat untuk “memprogramkan kembali” diri kita. Dari yang biasanya mudah mencaci-maki pada anaknya menjadi bertutur kata yang lembut, dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik lagi, seperti pesannya Nabi kita bahwa “Puasa adalah perisai.”
Apabila salah seorang diantaramu sedang berpuasa, hendaklah ia tidak berkata-kata keji dan tidak pula memperolok orang lain. Kemudiaan apabila ada seseorang yang hendak mencaci-makinya, hendaklah ia berkata: “Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.”

Monday, June 4, 2012

The banker and the pauper


Once upon a time, there lived a poor pauper and a rich banker. So it was inevitable that the rich man would be happier than the pauper. However, their natures were opposite, for the poor man was happy whereas the banker was not. The banker was annoyed by the fact that when he tossed and turn in his bed at night, the pauper slept peacefully and always awoke rested and full of energy.
One day the banker could stand it no longer. He decided to find out why the pauper was happy in spite of his poverty. So he summoned him to his house and asked him his yearly income because he believed that happiness could only be measured in terms of wealth.
“i don’t count too well, nor do i really care. I live each day as it comes and never worry about the next”
“well then, just tell how much you earn in one day,” insisted the rich man.
“i earn what i need”
The banker liked the pauper. He wished to thank him for coming to his house, so he presented the poor man with a bag of hundred gold coins.
Now, these coins, which meant so little to the banker, seemed a great fortune to the pauper. He decided to hide the bag , so that he would have the money if ever he should need it. So, when he returned to his house, he dug a big hole in secluded corner of the garden, threw the bag into it, and covered it with the dirt.
However, from that day on the poor man’s life changed. He began to worry about the safety of his money. Every night he slept a little less, and each time he heard the slightest sound, he became anxious about the safety of his coins.
Finally, he could bear his happiness no longer. He went to the garden, dug up the coins and returned them to the banker.
The pauper had learned an important lesson, and so had the banker.

How the beggar boy turned into count Piro


Once upon a time there lived a man who had only one son, a lazy, stupid boy, who would never do anything he was told. His name was Piro. When the father was dying, he sent for his son and told him that he would soon be left alone in the world, with no possessions but the small cottage they lived in, and a pear tree which grew behind it, and that, whether he liked it or not, he would have to work, or else he would starve. Then the old man died.
But the boy did not work; instead, he idled about as before, contenting himself with eating the pears off his tree, which, unlike other pear trees before or since, bore fruit the whole year round. Indeed, the pears were so much finer than any you could get even in the autumn, that one dayin the middle of the winter; they attracted the notice of a fox that was creeping by.
The fox asked the pears to the boy and the fox gave it to the king. The fox said it was a prince who gave the pears. The fox gave the pears to the king for several times before he asked the king to marry his daughter to Piro. By tricking the king, the fox tried to convince the king that prince Piro was a very rich person. The fox showed a big castle which actually belonged to an Ogre to the king and said it belonged to count Piro. The fox had tricked the ogre too by locking them in an underground prison so the count Piro can get all the castle and all the wealth that the ogre had before. 

For the next trick, i’m going to.....


You are sitting on an outdoor theater. On the stage you see a man selling hot dogs, some children playing, a group of tourists listening to a tour guide, and even a clown with a  sad face. In the background is the statue of liberty. It’s a normal day in New York City. Then you hear an amazing statement, “and for my next trick, i’m going to make the Statue of Liberty disappear.” Impossible, you think. How could anyone do that?
A curtain closes, hiding the stage. The magician talks to the audience for a few minutes. The statue won’t be easy to move, he says. The music get louder. You can feel the tension in the air. The curtain slowly opens...and you can’t believe your eyes. The Statue of Liberty is gone!
So how does the magician do this trick? Easy! While he’s talking, the hole theater moves very, very slowly to a different position. The people in the audience can’t feel the movement. Behind the curtain, the “actors” quickly move to a replica of the scene and stand in the same positions, but in front of an empty sky. When the curtain opens, you see the same hot dog seller, the same children, the same tourists, the same clown, all are actors. Everything is the same, but the statue of liberty isn’t there. That’s magic!

The Bronx zoo



What to see: Over 4,000 animals
How to get there: 2 or 5 train to East Tremont Ave/West farm Square. At street level, walk straight ahead on Boston Road 2  blocks to the Zoo’s Asia gate entrance (Gate A).
Admission:
                  Adult                                 $14
                  Children (3-12)              $ 15
                  Senior (65+)                   $ 12
Opening Hours:
                   The zoo is open 365 days a year!
                   Monday- Friday 10:00 A.M – 5:00 P.M
                   Weekends and Holidays  10:00 A.M – 5:30 P.M

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India